Donat Pinkan Mambo, Trauma Kolektif, dan Nafsu Manis yang Salah Tujuan
Aug 07, 2025
“Kita tidak sedang membeli donat. Kita sedang mencari pelukan yang tidak pernah datang.”
Donat Pinkan Mambo viral. Bukan karena rasanya. Tapi karena ia menyentuh sesuatu yang lebih dalam: antara nostalgia masa kecil, trauma kolektif, dan kebingungan publik tentang mana yang “kasihan” dan mana yang “kejujuran”.
Tapi mari kita tidak berhenti di gosip.
Mari kita decode fenomena ini dengan lensa somatik, psikologis, dan spiritual supaya kita bisa belajar sesuatu yang lebih bermakna dari sekadar adonan tepung dan gula.
Donat = Rasa Aman Palsu dan Kenapa Comfort Food Begitu Menggoda?
Berdasarkan penelitian dari Harvard Health Publishing (2020), makanan tinggi gula dan lemak merangsang pelepasan dopamin dan endorfin, hormon yang memberikan rasa nyaman sementara. Inilah sebabnya kita sering mencari makanan ini saat merasa stres, cemas, atau sedih.
Studi dari University of California (2013) juga menemukan bahwa makanan tinggi gula menyebabkan lonjakan dan penurunan glukosa darah yang cepat, memicu respons hormon stres kortisol sehingga kita justru merasa lebih anxious dan moody setelah makan.
Loop-nya seperti ini:
-
Trigger emosional → merasa kosong, kesepian, atau overwhelmed.
-
Makan comfort food (contoh: donat).
-
Lonjakan gula → tubuh merasa “lega” sesaat.
-
Crash → muncul rasa lelah, bersalah, dan ingin lagi.
-
Siklus terulang.
Makanan seperti donat bukan solusi — tapi distraksi.
Trauma & Tubuh dan Kenapa Kita Mencari Gula Saat Terpicu?
Dr. Peter Levine, pendiri Somatic Experiencing®, menyebut bahwa tubuh manusia menyimpan memori trauma dalam sistem saraf bukan hanya dalam pikiran. Saat tubuh masuk ke mode freeze atau fawn, kita akan mencari cara tercepat untuk "numb" atau mematikan rasa.
Gula dan tepung olahan menjadi pelarian yang umum karena:
-
Mudah didapat
-
Tidak dihakimi secara sosial
-
Memberi ilusi kehangatan emosional
Dalam Polyvagal Theory oleh Dr. Stephen Porges, makanan bisa menjadi pengganti co-regulation saat kita tidak punya sistem dukungan yang aman, kita mencari sesuatu di luar tubuh yang bisa memberikan perasaan aman sementara.
Jadi, craving makanan bukan sekadar “lemah iman” atau “rakus”.
Tapi tubuh yang bilang: “Aku ingin merasa aman.”
Inner Child, Gula, dan Belas Kasih Buta
Donat sering diasosiasikan dengan masa kecil, hadiah, dan kasih sayang jadi bukan kebetulan ketika Pinkan menyebut bisnis donatnya sebagai perjuangan seorang ibu.
Reaksi netizen pun langsung split:
-
Ada yang marah dan kecewa karena rasa donat tidak worth it
-
Ada juga yang defensif dan membela mati-matian karena "kasihan"
Apa yang terjadi di sini?
-
Inner child protector mode: Banyak orang dewasa punya luka dari masa kecil yang tidak dilihat, sehingga ketika melihat “ibu-ibu” dikritik, luka itu terpanggil.
-
Spiritual Bypass: Ketika kritik valid ditolak dengan alasan “niatnya baik”, kita mengabaikan tanggung jawab yang penting dalam healing dan usaha.
-
Co-dependence disguised as empathy: Mengasihani seseorang bukan berarti membenarkan semua pilihannya.
Belas kasih sejati melihat manusia utuh: dengan luka dan juga tanggung jawabnya.
Gula, Spiritualitas, dan Disonansi Energi
Banyak orang ingin “vibrasi tinggi”, menjalani spiritualitas, bahkan bicara tentang Law of Attraction. Tapi kalau tubuhmu:
-
terus menerus over-eating makanan ultra-processed,
-
denial terhadap trigger emosionalmu,
-
dan hanya “healing” di kepala (affirmasi doang tanpa tubuh ikut serta),
...maka kamu sedang terjebak dalam bypass spiritual.
Vibrasi tinggi tidak datang dari visualisasi saja. Tapi dari tubuh yang benar-benar bisa hadir, merasa, dan tidak menolak emosi yang tidak enak.
Solusinya Apa? Ya Pulang ke Diri Lewat Tubuh, Bukan Lewat Gula
Yang kita butuhkan bukan donat.
Yang kita butuhkan adalah:
-
Tubuh yang diberi izin menangis.
-
Sistem saraf yang tidak lagi harus melarikan diri.
-
Energi hidup yang tidak diikat oleh trauma, tapi dilepaskan dengan sadar.
Cara mulai pulang ke diri:
-
Praktik somatik sederhana seperti orienting, vagus breath, atau shaking bisa membantu meredakan craving.
-
Dengarkan tubuhmu sebelum kamu makan. “Apakah aku benar-benar lapar, atau aku hanya ingin dipeluk?”
-
Bangun kehadiran lewat inner child journaling, grounding, dan co-regulation sehat.
Mau Latihan Praktis?
Coba audio “Somatic Release Practice” di KH App atau KKB untuk melepaskan tekanan emosi dan craving dengan cara yang trauma-informed.
Atau gunakan “Self-Audit Blueprint Emosional” agar kamu bisa mengenali siklus emosi, pelarian, dan energi makanmu.
Ini Bukan Tentang Donat. Ini Tentang Kamu.
Pinkan hanya manusia. Donatnya hanya produk.
Tapi reaksi kita semua terhadap ini adalah peta luka kolektif yang belum selesai.
Jadi sebelum kamu makan, menyerang, atau membela — tanya dulu:
“Apa yang sebenarnya aku cari di sini?”