KHĀ Blog

Di Kunci Hidup, kami berdedikasi untuk membantu kamu membuka potensi penuh dari pikiran, tubuh, dan jiwa. Melalui ajaran transformatif kami, kami membimbing kamu untuk terhubung lebih dalam dengan diri sendiri, melepaskan keyakinan yang membatasi, dan merangkul kehidupan yang penuh kelimpahan dan tujuan. Setiap artikel di blog ini dirancang untuk menginspirasi, mendidik, dan memberdayakan perjalananmu menuju penemuan diri dan pertumbuhan pribadi.

Hubungan Trauma Masa Kecil dengan Gangguan Makan

Jun 30, 2024

 

Jutaan orang di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengalami gangguan makan seperti Anoreksia Nervosa, Gangguan Makan Berlebihan atau Binge Eating Disorder (BED), dan Bulimia Nervosa. Meskipun gangguan ini mempengaruhi pria dan wanita, wanita lebih banyak mengalami anoreksia nervosa (75%) dan gangguan makan berlebihan (60%).

Berbagai faktor dapat berkontribusi pada timbulnya gangguan makan, seperti genetika dan riwayat keluarga. Namun, salah satu faktor yang paling umum yang menghubungkan gangguan makan adalah riwayat trauma masa kecil. Anak-anak yang mengalami pelecehan emosional, fisik, atau seksual lebih mungkin mengembangkan masalah psikologis, termasuk citra tubuh dan gangguan makan.

Peran Trauma Masa Kecil dalam Gangguan Makan

Trauma masa kecil bisa memiliki dampak yang sangat besar dan bertahan lama pada kehidupan seseorang, yang pastinya akan mempengaruhi kesehatan mental, fisik, dan emosional, serta hubungan percintaan dan kesejahteraan secara keseluruhan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa efek trauma masa kecil bahkan bisa berlanjut hingga dewasa say.

Pelecehan apapun jenisnya akan menurunkan harga diri seorang anak. Mereka akan kesulitan dengan kepercayaan diri dan membentuk sebuah hubungan yang saling mempercayai. Karena pelecehan tersebut diinternalisasi, membuat mereka percaya bahwa apa yang terjadi adalah kesalahan mereka sendiri.

Hubungan antara pelecehan seksual dan gangguan makan terdokumentasi dengan baik dan diterima oleh praktisi. Namun, pemahaman yang berkembang mengenai jenis trauma lain, seperti pelecehan fisik dan emosional, serta peran mereka mainkan dalam perkembangan gangguan makan, perlu diperhatikan juga. Pelecehan emosional, misalnya, dapat menyebabkan harga diri rendah, kritik diri, dan masalah seputar citra tubuh. Gangguan makan menjadi mekanisme untuk mempertahankan kendali ketika seseorang merasa tidak memiliki kendali dan berfungsi sebagai cara untuk menghindari trauma emosional secara langsung.

Trauma bisa menjadi parah dan mengganggu fungsi sistem saraf, sehingga sulit atau bahkan tidak mungkin untuk mengatur emosi mereka sendiri. Perilaku negatif seperti makan berlebihan atau anoreksia menjadi mekanisme koping yang mencegah korban trauma memproses emosi yang sulit. Seperti halnya Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD), disregulasi sistem psikobiologis tubuh ini terjadi akibat paparan trauma masa kecil.

Pelecehan Emosional dan Gangguan Makan

Pelecehan emosional berupa kritik secara terus-menerus, penghinaan, atau serangan terhadap karakter anak. Seiring dengan berjalannya waktu, anak-anak ini akan menginternalisasi kritik tersebut, mungkin bahkan mempercayainya sebagai seebuah kebenaran. Pelecehan emosional dan penginternalisasiannya membuat anak-anak rentan terhadap gangguan makan dan perilaku disfungsional. Anak-anak yang mengalami pelecehan emosional mungkin akan mengembangkan gangguan makan seperti mereka yang mengalami pelecehan fisik atau seksual. Studi terbaru mengeksplorasi keterkaitan klinis antara gangguan makan dan pelecehan emosional, mencatat bahwa invalidasi emosional adalah komponen inti dari perkembangan psikopatologi makan. Pelecehan emosional menimbulkan risiko besar terhadap gangguan makan di masa depan dengan menciptakan toleransi yang buruk terhadap stres, perkembangan emosional yang terhambat, dan masalah dengan pengendalian emosi. Orang yang menanggung penghinaan berulang atau kritik berlebihan, seiring dengan berjalannya waktu, akan mengembangkan pandangan diri sendiri yang sangat kritis, yang menyebabkan masalah seputar citra tubuh yang dapat bermanifestasi sebagai anoreksia, bulimia, atau BED aka makan berlebihan.

Pelecehan Seksual dan Gangguan Makan

Hubungan antara pelecehan seksual dan psikopatologi gangguan makan telah banyak dipelajari, tetapi masih menjadi subjek perdebatan. Tinjauan literatur terbaru menemukan bahwa sekitar 30% individu yang mengalami gangguan makan pernah mengalami trauma seksual atau pelecehan seksual di masa kecil. Penelitian menunjukkan, bagaimanapun, bahwa orang yang mengalami pelecehan seksual memiliki kemungkinan untuk mengembangkan bulimia nervosa dibandingkan dengan anoreksia, BED, atau bentuk gangguan makan lainnya.

Beberapa ahli berteori bahwa pelecehan seksual dapat menyebabkan seseorang mengembangkan gangguan makan karena mereka percaya mereka harus tampil dengan cara tertentu agar dianggap menarik. Dengan cara ini, seseorang tampaknya mengendalikan hidup mereka, tetapi juga menemukan saluran untuk rasa sakit dan kekacauan emosional dari trauma seksual.

Dalam kasus bulimia, ada simbolisme inheren dalam etiologi gangguan tersebut. Misalnya, perilaku bulimia membantu seseorang "membuang" perasaan negatif yang terkait dengan trauma sementara makanan membantu mengisi kekosongan emosional. Keduanya menjadi mekanisme koping yang membantu seseorang menghindari trauma dari pengalaman mereka; namun, itu tidak memberikan jawaban yang diperlukan individu untuk sembuh.

Makan Saat Stres Sebagai Perilaku Tidak Sehat

Meskipun tidak sama dengan gangguan makan tradisional, ada studi menarik tentang makan saat stres dan bagaimana hal itu dapat berkembang di masa kecil akibat trauma. Misalnya, sebuah studi di University College London tentang anak kembar identik menemukan bahwa pola makan yang tidak sehat dapat dimulai sejak usia dua tahun bukan karena genetika tetapi karena faktor lingkungan. Bahkan dalam kasus di mana orang tua mengalami obesitas, makan emosional didorong oleh lingkungan, bukan gen.

Dalam studi tersebut, ketika menghadapi stres, beberapa anak mencari makanan favorit, sementara yang lain kehilangan nafsu makan. Orang tua anak-anak mengenali perilaku ini sebagai respon terhadap rasa marah atau cemas. Para peneliti mencatat bahwa makan emosional atau makan berlebihan di masa kecil bisa menjadi dasar bagi kemungkinan gangguan makan di kemudian hari, ketika stres meningkat secara alami. Studi serupa di Huntington University menemukan bahwa semakin tinggi tingkat stres, semakin besar kemungkinan seorang siswa untuk makan berlebihan.

Makan Sebagai Kecanduan

Psikologi modern menganggap makan emosional dan makan berlebihan sebagai perilaku adiktif. Seperti halnya narkoba, seseorang yang makan emosional atau makan berlebihan mendapatkan "high" dari pengalaman tersebut karena peningkatan kadar dopamin seperti yang terkandung di dalam zat terlarang, seseorang yang makan berlebihan akan menginginkan lebih atau selalu merasa tidak pernah cukup. Hal ini biasanya disebut sebagai kecanduan proses: ditandai oleh perilaku kompulsif yang akhirnya menjadi ancaman kesehatan karena menyebabkan obesitas dan semua risiko kesehatan terkait.

Makan emosional dan makan saat stres mungkin tidak secara resmi ditetapkan sebagai gangguan  tetapi keduanya memiliki kaitan dengan gangguan makan berlebihan dan trauma. Keduanya bisa berkembang dari harga diri rendah dan siklus rasa malu, rasa bersalah, dan makan berlebihan. Ketika makan emosional dan makan berlebihan mengganggu fungsi sehari-hari dan kualitas hidup, maka hal itu bisa menjadi Gangguan Makan Berlebihan (BED).

Apakah Ada Hubungan Antara Gangguan Makan dan PTSD?

Para peneliti telah menemukan hubungan menarik antara Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD) dan gangguan makan. Misalnya, wanita yang mengalami gangguan makan juga menunjukkan tanda-tanda PTSD atau gangguan kecemasan sebagai kondisi yang sudah ada sebelumnya atau komorbid. Seringkali, keberadaan trauma menciptakan kecemasan atau PTSD, dan gangguan makan muncul sebagai mekanisme koping untuk gejala-gejala tersebut.

Faktanya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan stres pasca trauma sebenarnya bisa menjadi mediator antara mengalami trauma dan mengembangkan gangguan makan. Misalnya, Studi Wanita Nasional menemukan bahwa persentase tinggi wanita yang mengalami gangguan makan juga memiliki diagnosis PTSD. Banyak penyintas trauma masa kecil memiliki setidaknya beberapa gejala PTSD, menunjukkan bahwa mereka memiliki manifestasi subthreshold dari gangguan tersebut.

Pada tingkat dasar, ada banyak kesamaan antara gangguan stres pasca trauma dan gangguan makan. Misalnya, orang dengan kondisi apa pun cenderung impulsif dan mungkin mengalami disosiasi. Penting untuk dicatat, bagaimanapun, bahwa metode disosiasi mungkin berbeda. Makan berlebihan dan memuntahkan adalah metode disosiasi dari trauma, begitu juga dengan penggunaan narkoba atau alkohol untuk melarikan diri.

Bagaimana Gangguan Makan Mempengaruhi Kesehatan Mental

Gangguan makan memiliki efek negatif yang jelas pada kesehatan. Dari perspektif fisik, seseorang dengan gangguan makan mungkin berisiko lebih tinggi untuk:

  1. Obesitas
  2. Malnutrisi
  3. Kondisi yang dihasilkan dari defisiensi mikronutrien
  4. Osteoporosis
  5. Jenis kanker tertentu (misalnya, kanker esofagus akibat muntah)

Selain masalah kesehatan fisik, seseorang dengan gangguan makan sering memiliki gangguan kesehatan mental yang terjadi bersamaan. Misalnya, seseorang dengan gangguan makan mungkin memiliki PTSD, depresi, kecemasan, atau patologi disosiatif lainnya. Untuk lebih menjauhkan diri dari trauma, tidak jarang seseorang dengan gangguan makan juga memiliki gangguan penggunaan zat atau gangguan penggunaan alkohol.

Sayangnya, gejala gangguan makan sangat mirip dengan gangguan lainnya. Sangat penting bagi profesional kesehatan mental untuk mengungkap semua kemungkinan masalah kesehatan mental dan penyalahgunaan zat yang terjadi bersamaan untuk memfasilitasi pemulihan jangka panjang.

Ingatlah bahwa gangguan makan hanyalah salah satu metode atau mekanisme koping untuk mengatasi trauma emosional, fisik, atau seksual. Seseorang mungkin memiliki beberapa mekanisme koping yang tidak sehat yang membuat mereka tidak menghadapi trauma pengalaman masa kecil mereka. Hanya dengan menangani trauma dengan cara yang sehat, seseorang yang terkena gangguan makan atau kondisi komorbid dapat mengharapkan pemulihan yang berarti.

Untuk mengatasi gangguan makan berlebihan (BED) dan gangguan makan lainnya yang disebabkan oleh trauma masa kecil, pendekatan yang holistik dan terintegrasi sangat penting. Salah satu langkah pertama adalah mengakui dan memahami bahwa gangguan makan ini sering kali berakar pada trauma emosional, fisik, atau seksual yang dialami di masa kecil. Pendekatan terapi yang efektif melibatkan kombinasi terapi perilaku kognitif (CBT) untuk membantu mengubah pola pikir negatif dan perilaku maladaptif, serta terapi yang berfokus pada trauma untuk mengatasi akar penyebab emosional dari gangguan makan tersebut.

Salah satu cara efektif untuk menyembuhkan luka batin dari trauma masa kecil adalah melalui kursus online Healing Inner Child. Kursus ini dirancang untuk membantu individu mengatasi dan menyembuhkan luka emosional yang mendalam dengan memberikan alat dan teknik praktis untuk menyembuhkan diri. Selain itu, journaling Inner Child juga merupakan metode yang sangat bermanfaat. Melalui journaling, individu dapat mengekspresikan perasaan dan pengalaman mereka secara bebas, membantu mereka memproses emosi yang sulit dan menemukan makna serta pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri.

Dukungan dari komunitas dan profesional kesehatan mental juga sangat penting dalam perjalanan penyembuhan. Bergabung dengan kelompok dukungan atau bekerja dengan terapis berlisensi yang berpengalaman dalam menangani trauma dan gangguan makan dapat memberikan panduan dan dukungan yang dibutuhkan. Terapi keluarga juga bisa menjadi bagian dari proses penyembuhan, membantu memperbaiki dan memperkuat hubungan yang mungkin rusak akibat trauma dan gangguan makan.

Selain itu, penting untuk mengembangkan strategi coping yang sehat dan positif untuk menggantikan kebiasaan makan yang tidak sehat. Ini bisa meliputi teknik relaksasi seperti meditasi, yoga, dan latihan pernapasan dalam, serta aktivitas fisik yang teratur dan pola makan yang seimbang. Memperkuat keterampilan mengatur emosi dan membangun rasa harga diri yang positif juga merupakan bagian penting dari proses penyembuhan.

Dengan menggabungkan pendekatan terapi yang berfokus pada trauma, dukungan komunitas, dan teknik penyembuhan diri seperti kursus online dan journaling Inner Child, individu yang mengalami gangguan makan berlebihan dapat menemukan jalan menuju pemulihan yang bermakna dan jangka panjang.